Kehidupan
Seorang Abdi Dalem
Keraton
Yogyakarta
Bagi pembaca
yang pernah berkunjung ke Keraton Yogyakarta pasti menemukan orang-orang dengan
pakaian khas Jawa di dalam lingkungan keraton. Mereka berjalan tidak
berdampingan tetapi berurutan depan belakang seperti orang mengantri,
menggunakan bahasa Jawa bila berbicara, dan tidak menggunakan alas kaki. Mereka
adalah abdi dalem keraton, yaitu orang yang mengabdi pada Raja Keraton
Yogyakarta.
Abdi dalem
keraton dikenal mendapatkan imbalan yang kecil bahkan tidak mendapatkan imbalan
apa-apa ketika masih magang. Namun bukan imbalan yang menjadi dasar untuk
menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta. Bila kita bayangkan di masa lalu ketika
Keraton Yogyakarta menjadi pusat politik dan kekuasaan di Jawa, menjadi abdi dalem
seperti menjadi pegawai negeri sipil di masa Republik. Namun di masa sekarang
dengan beban ekonomi dan tanggungan kehidupan yang besar, imbalan yang kecil
apakah cukup? Beberapa abdi dalem yang pernah penulis tanyakan tentang hal ini
menyatakan cukup. Mereka bukan mencari imbalan yang besar dengan menjadi abdi
dalem, mereka mencari ketenangan hidup dan mewujudkan kesetiaan kepada Keraton
Yogyakarta.
Saat bergabung
menjadi abdi dalem, mereka mendapatkan ketenangan hidup. Hidup rasanya tenteram
dalam lingkungan keraton, karena dalam keraton tidak banyak konflik, semuanya
diatur, semuanya manusia dimanusiakan. Hal ini tidak terlepas dari prinsip
Manunggaling Kawula Gusti yang menunjukkan bahwa antara atasan dan bawahan
saling menyatu, saling membutuhkan dan menghargai. Keraton tetap lestari sampai
sekarang bukan hanya karena Raja sebagai pemimpin, tetapi juga karena peran
dari para abdi dalem. Lebih tinggi lagi konsep tentang Manunggaling Kawula
Gusti, bahwa manusia termasuk semua yang ada di dalam keraton mulai Raja,
Pangeran, dan abdi dalem harus hidup dalam suasana spiritualitas, berhati-hati
dalam hidup, dengan Tuhan sebagai kontrol perilaku dalam hidup.
Ketika bawahan mendapatkan ketenangan hidup,
maka pemimpin telah menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang adil. Sangat
sulit mendapatkan pemimpin yang adil bagi bawahan. Sampai saat ini keraton
Yogyakarta masih memiliki pemimpin yang adil bagi abdi dalem. Ketenangan hidup
ini mendasari kesetiaan abdi dalem untuk terus mengabdi pada Keraton
Yogyakarta. Bahkan sampai diwariskan, keturunan abdi dalem biasanya akan
menjadi abdi dalem juga. Kesetiaan abdi dalem ini juga didasarkan sebagai
ungkapan rasa terimakasih karena dapat hidup di atas tanah keraton Yogyakarta.
Jadi jelas bahwa bukan imbalan uang yang menjadi dasar menjadi abdi dalem,
tetapi kesetiaan.
Terdapat
beberapa manfaat yang dipetik dari kesetiaan abdi dalem. Terutama sebagai agen
pelestari budaya. Abdi dalem masih melestarikan budaya Jawa, tidak hanya dalam
ranah kognitif yang sekadar tahu, tetapi masih melakukannya dalam kehidupan
sehari-hari. Sebagai contoh menggunakan bahasa Jawa halus (Krama Inggil) saat
berbicara kepada orang yang lebih tua atau dihormati sebagai wujud penghargaan.
Saat berjalan, ketika berbicara harus berhenti dulu untuk lebih memahami apa
yang dibicarakan. Tidak banyak berbicara daripada banyak berbicara membicarakan
orang lain ataupun berbicara buruk. Menggunakan pakaian adat Jawa dalam
kesehariaannya. Ini adalah contoh-contoh dalam bentuk perilaku yang didasari
budaya Jawa.
Abdi dalem memang menjadi agen pelestari budaya melalui
kesetiaan yang mereka tunjukkan. Mereka menjadi contoh bagi masyarakat yang
melihat, generasi muda, ataupun orang lain yang tidak mengetahui sama sekali
tentang budaya Jawa. Abdi dalem tetap bangga dengan perilaku keseharian yang
ditata berdasarkan budaya Jawa meskipun banyak orang mengatakan mereka sudah
ketinggalan jaman. Tetapi panggilan kesetiaan pada budaya perlu kita contoh
untuk melestarikan budaya kita masing-masing.
Sumber : http://www.ubaya.ac.id/2014/content/articles_detail/88/Abdi-Dalem-Keraton-Yogyakarta---Kesetiaan-Dan-Agen-Pelestari-Budaya.html